Thursday, March 12, 2020

KONSEP MBS



A. POLA BARU MANAJEMEN PENDIDIKAN MASADEPAN 
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula manajemen pengelolaan sekolah. Banyaknya bukti empirik tentang lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannnya otonomi daerah, membawa konsekuensi pada perubahan manajemen sekolah. Sebuha konsekuensi logis untuk dilakukan penyesuaian manajemen pengelolaan sekolah dari pola lama menuju pola baru. Pola baru manajemen pendidikan juga dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan zaman yang lebih bernuansa otonomi dan demokratis. Dimensi perubahan dapat dilihat Pada Tabel 2.1. 

Table 2.1 Dimensi-Dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan Pola Lama Menuju Pola Baru Subordinasi -----> Otonom Pengambilan keputusan terpusat -----> Pengambilan keputusan partisipatif Ruang gerak kaku -----> Ruang gerak luwes Pendekatan birokratik -----> Pendekatan profesional Sentralistik -----> Desentralistik Diatur -----> Motivasi diri Overregulasi -----> Deregulasi Mengontrol -----> Mempengaruhi Mengarahkan -----> Memfasilitasi Menghindari resiko -----> Mengelola resiko Gunakan uang semuanya -----> Gunakan uang seefisien mungkin Individual yang cerdas -----> Teamwork yang cerdas Informasi terpribadi -----> Informasi terbagi Pendelegasian -----> Pemberdayaan Organisasi hierarkis -----> Organisasi datar Departemen Pendidikan Nasional (2001) 

Berdasarkan pola baru tersebut, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Hal tersebut membawa perubahan pada banyak hal. Di antaranya pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif. Demikian pula partisipasi masyarakat juga makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri sekolah daripada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peran pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebihefisien. 

B. KONSEP DASARMP MBS 
Pada prinsipnya, MBS merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengembaliankeputusansecarapartisipatifuntukmemenuhikebutuhanmutu sekolah atau untuk mencapaitujuan mutusekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu, terdapat sejumlah kata kunci terkait MBS, yakni otonomi sekolah, pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah. 
  1. Otonomi Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan mereka tidak tergantung pada pihak manapun. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundangundangan pendidikan nasional yangberlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan. Yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik dan kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif. Selain itu juga kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptasi dan antisipasi, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri. 
  2. Pengambilan keputusan partisipatif Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik oleh warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa, tokoh masyarakat). Warga sekolah didorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) daIam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasamemiliki”terhadapkeputusantersebutsehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya:makin besartingkat partisipasi, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.

Dengan pengertian di atas, sekolah memiliki kewenangan dan kemadirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya untuk mencapai mutu pendidikan. Dengan kata lain, sekolah merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan. Sedangkan unit-unit di atasnya, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan di daerah merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah. Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; 
  2. Bersifat adaptif dan antisipatif proaktifsekaligus; 
  3. Memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil risiko, dan sebagainya); 
  4. Bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; 
  5. Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya; 
  6. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisikerja; 
  7. Komitmenyangtinggipadadirinya;danprestasimerupakanacuanbagipenilainya.
 
Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya. memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di mana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian dari hidupnya. Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah dengan pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki murtabat tertinggi. 

C. MANFAAT MBS 
Melalui MBS diperoleh berbagai keuntungan, antara lain:
  1. Kebijakan dan kewenangan sekolah bersumber dari kondisi nyata yang dialami sekolah dan membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua, dan guru;
  2. Sumberdaya lokal dapat termanfaatkan secara optimal danrelevan;
  3. Pengelolaan pendidikan dapat berjalan lebihefektif;
  4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan yang memiliki dampak langsung kepada guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, perubahan perencanaan;
  5. MBS memberikan peluang kepada guru dan kepala sekolah dalam mengelola sekolah menjadi lebih efektif karena adanya partisipasi dan rasa kepemilikan dan keterlibatan yang tinggi dalam membuat keputusan. Pengelola sekolah akan mempunyai kendali dan akuntabilitas terhadap lingkungan sekolah. Pengelola pendidikan tingkat pusat dan dasar hanya berperan dalam melayani kebutuhan sekolah.
  6. MBS akan menciptakan berbagi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta sekolah yang memerlukan penataan secara hatihati yang dilandasi semnagat kerjasama dan konsisten dalam kewajiban, kewenangan dan tanggungjawab masing-masing 
Dalam konsep MBS pemerintah pusat berkewajiban dalam merumuskan cita-cita dan strategi nasional pendidikan, kurikulum nasional, publikasi bukubuku pelajaran tertentu, serta pertanggungjawaban dalam mutu edukatif. Sedangkan pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan SDM (guru dan kepala sekolah), mengatur rekruitmen, pengangkatan dan penempatan, pengembangan karier, pemindahan, kenaikan pangkat, dan pemberhentian guru. Sekolahberkewajibanuntukmengaturjampelajaran,dikelas mana pelajaran diberikan atau tidak dalam mengelola kurikulum nasional,tolakukur apa yangdigunakanuntukmenilai pencapaiankurikulum, keleluasaan dalam mengelola sumber daya sekolah dan dalam menyertakan masyarakat dalam meningkatkan kinerja sekolah. 

D. ASUMSI DAN PRINSIP MBS 
Penerapan MBS di setiap satuan pendidikan didasarkan atas asumsi dan prinsip pengelolaan sekolah sebagai berikut:

1. Asumsi Dasar MBS 
Terdapat asumsi dasar dalam penerapan MBS yakni: 
  • MBS memandang sekolah sebagai suatu lembaga yang harus dikembangkan. Sekolah dipandang sebagai suatu lembaga layanan jasa pendidikan di mana kepala sekolah sebagai manajer pendidikan yang dituntut untuk bertanggungjawab atas seluruh komponen sekolah, dan harus berupaya meningkatkan mutu pelayanan dan mutu hasil belajar yang berorientasi kepada pemakai, baik internal (siswa) atau eksternal (masyarakat), pemerintah maupun lembaga industri dan dunia kerja (stakeholder). Dalam konsep MBS harus memperhatikan aspek-aspek mutu yang harus dikendalikan secara komprehensif yaitu: 1) karakteristik mutu pendidikan (input, proses, output); 2) pembiayaan; 3) metode atau sistem penyampaian bahan/materi pelajaran; 4) pelayanan kepada siswa dan orang tua, sertamasyarakat. 
  • MBS dapat efektif diterapkan jika didukung oleh sistem berbagi kekuasaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam pengelolaan sekolah. Agar hasil outputnya baik, maka (dalam konsep MBS) sekolah dipandang sebagai suatu unit manajemen yang utuh dan memerlukan perlakuan khusus dalam upaya pengembangannya. Dimana perlakuan khusus tersebut akan berbeda untuk setiap sekolah. Hal inilah yang melandasi keyakinan bahwa pengambilan keputusan dalam merancang dan mengelola pendidikan seharusnya dilakukan di tingkat sekolah
2. Prinsip Dasar MBS 
Dalam MBS, konsep yang diterapkan adalah konsep otonomi yang merupakan tindakan desentralisasi yang dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi ke tingkat bawah. Hal ini merupakan proses pendelegasian kekuasaan mulai dari tingkat nasional (pusat) sampai dengan tingkat sekolah, bahkan sampai di tingkat kelas (guru kelas).
MBS menuntut kesiapan pengelola di berbagai level untuk melakukan perannya sesuai dengan kewajiban, kewenangan, dan tanggungjawabnya. MBS akan efektif diterapkan jika para pengelola pendidikan mampu melibatkan stakeholder terutama peningkatan peran serta masyarakat dalam menentukan kewenangan, pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan oleh masing-masing sekolah. 
Inovasi kurikulum lebih menekankan kepada peningkatan kualitas dan keadilan (equitas), pemerataan (equalitas) bagi semua peserta didik yang didasarkan atas kebutuhan peserta didik dan masyarakat lingkungannya. MBS merupakan strategi yang efektif dalam meningkatkan kinerja unggul sekolah yang didukung oleh anggaran, SDM, dan kurikulum atau pengajaran yang memadai. Syarat yang harus ditempuh dalam melaksanakan MBS adalah : 
a. adanya kebutuhan untuk berubah atauinovasi; 
b. adanya desain ulang organisasi pendidikan; 
c. proses perubahan sebagai prosesbelajar; 
Semua hal tersebut harus dilakukan secara sadar untuk melakukan perubahan.

E. FUNGSI-FUNGSI YANG DIDESENTRALISASIKAN KESEKOLAH 
Tidak seluruh aspek dalam manajemen, secara kebijakan dapat didesentralisasi ke sekolah. Pembagian kewenangan dalam pengelolaan sekolah telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010. Adapun aspek-aspek yang dapat digarap oleh sekolah dalam kerangka MBS ini meliputi: (1) Perencanaan dan evaluasi program sekolah; (2) Pengelolaan kurikulum; (3) Pengelolaan proses pembelajaran; (4) Pengelolaan ketenagaan; (5) Pengelolaan peralatan dan perlengkapan; (6) Pengelolaan keuangan; (7) Pelayanan siswa; (8) Hubungan sekolah-masyarakat; serta (9) Pengelolaan iklimsekolah. 

  1. Perencanaan dan Evaluasi Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan dan penyusunan programsekolahsesuai dengan kebutuhannya (schoolbasedplan).Kebutuhan yang dimaksud, misalkan, kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan, kualitas layanan dan tatakelola. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya. 
  2. Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang diterapkan di sekolah merupakan kurikulum yang sesuai dengan kebijakan pemerintah terkait kurikulum. Kebijakan kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah standar yang berlaku secara nasional. Mengingat kondisi sekolah sangat beragam, maka dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi) implementasi kurikulum dengan mengacu pada kebijakan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, Pemerintah Daerah dan atau sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. 
  3. Pengelolaan ProsesPembelajaran Proses pembelajaran merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia disekolah. Secara umum, strategi, metode, teknik pembelajaran harus berpusat pada siswa (student-centered) sehingga lebih mampu memberdayakan pembelajaran oleh peserta didik. 
  4. Pengelolaan Ketenagaan Pada prinsipnya, pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, rewardandpunishment, hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan oleh sekolah. Namun untuk sekolah pemerintah, beberapa kegiatan terkait dengan ketenagaan seperti rekrutmen dan pengupahan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Kendati demikian, pengelolaan teknis terkait ketenagaan dapat diatur oleh satuan pendidikan disesuaikan dengan kontekslokalnya. 
  5. Penggelolaan Fasilitas Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan,dan perbaikan,hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhanfasilitas,baik kecukupan, kesesuaian,maupun kemutakhiran. 
  6. Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan dana dilakukan oleh sekolah dengan mengacu pada aturan yang berlaku. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities) atau “kegiatan kreatif yang tidak tergantung pada dana sekolah” sehingga sumber keuangan sekolah tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. 
  7. Pelayanan Siswa Pelayanan siawa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga sampai pada penguruan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. 
  8. Hubungan Sekolah-Masyarakat Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan ketertiban, kepedulian kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat. 
  9. Pengololaan IklimSekolah Iklim sekolah, baik secara fisik dan non-fisik, yang kondusif merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimis dan harapan/ekspetasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang berpusat padasiswa(student-centeredactivities)adalahcontoh-contohiklimsekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya– upaya yang lebih intensif danekstensif.

 F. PENGERTIAN MUTUPENDIDIKAN 
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan yang mencangkup input,proses, dan ouput pendidikan. 

1. Input pendidikan 
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harustersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses pendidikan, baik berupa sumberdaya, perangkat lunak, serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses pendidikan. 

  • a. Input sumberdaya Input sumber daya meliputi sumber daya manusia yang meliputi pendidik dan tenaga kependidikan serta peserta didik, dan sumber daya lainnya seperti peralatan, perlengkapan, uang, bahan belajar, dan lain sebagainya. Dalam konteks Standar Nasional Pendidikan, setiap satuan pendidikan diharapkan dapat memenuhi input sumber daya ini seperti termaktub dalam Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Standar Sarana Prasarana. 
  • b. Input perangkatlunak Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana-rencana, program, struktur kurikulum, kompetensi yang harus dicapai, materi ajar, dan lain sebagainya. Setiap satuan pendidikan diharapkan dapat memenuhi input perangkat lunak ini dalam bentuk kesiapan pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan secara lenkap. 
  • c. Input harapan-harapan Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Input harapan ini juga tertuang dalam standar pengelolaan. 

Kesiapan input sangat diperlukan agar proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan layanan pendidikan dapat berlangsung efektif guna mencapaitujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur daritingkat kesiapan input. Makin tinggi kesiapan input, makin tinggi pula mutu inputsatuan pendidikan tersebut.Oleh karena itu, pengukuran mutu pendidikan yang paling mudah dilakukan didasarkanpada mutu input tersebut. 

2. Proses pendidikan 
Proses pendidikan merupakan berubahnya “sesuatu” menjadi “sesuatu yang lain”. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input utama, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output utama. 

Dengan demikian proses pendidikan merupakan merubahnya input utama menjadi output utama. Dalam pendidikan berskala mikro (tingkat sekolah), proses yang menjadi aktivitas inti dalam proses pendidikan adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan proses untuk menghasilkan profil peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mendukung proses tersebut, dibutuhkan proses pendukung seperti proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembangaan, proses pengelolaan pembelajaran, proses monitoring dan evaluasi, dan proses pendukung lainnya. 

Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dan sebagainya) dilakukan secara harmonis sehingga mampu menciptakan: 
  • • suasana pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), 
  • • mendorong motivasi dan minat belajar secaraberkelanjutan, 
  • • memberdayakan peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan, memiliki kemampuan mempraktekkan, melainkan mampu mengamalkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam kehidupan seharihari sebagai sebuah kompetensi yangutuh; 
  • • suasana yang efektif dalam penguatan karakter dan literasi;serta 
  • • menguatkankemampuanpesertadidikuntukmampubelajarbagaimana cara belajar dan mampu mengembangkan dirinya sendiri. 

3. Ouput pendidikan 
Ouput pendidikan merupakan profil peserta didik sesuai makna pendidikan itu sendiri. Yakni, “peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,akhlakmulia, serta keterampilanyang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Akan tetapi, pencapaian profil persebut dihasilkan dari kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektifitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi, jika prestasi sekolah, khususnya prestasi peserta didik, menunjukan pencapaian yang tinggi dalam:

  1. 1. Prestasi akademik, berupa nilai Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), karya ilmiah, hasil tes masuk perguruan tinggi,serta aneka lomba-lomba akademik lainnya; dan 
  2. 2. Prestasi non-akademik, seperti misalnya menunjukkan ketaatan pada agama secara konsisten, karakter yang kuat, akhlak mulia, pengembangan bakat dan potensi melalui aneka lomba non akademik, penguasaan keterampilan hidup, dan lain sebagainya.  
Untuk mencapai output tersebut, banyak sekali hal yang mempengaruhi dan saling berhubungan. Baik itu mutu input maupun mutu proses, seperti misalnya, tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, serta evaluasi, yang selalu konsisten pada pencapaian outputsekolah.

G. IMPLEMENTASI MBS 
Dalam menerapkan MBS disekolah, maka perlu langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi sekolah. Dalam tahapan ini perlu dicermati tahap implementasi dan indikator pencapaianhasilnya. 

1. Tahap Implementasi 
Secara umum, implementasi MBS dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu tahap pemahaman, tahap implementasi dan tahap penguatan. 

  • a. Tahap Pemahaman Mencakupide dasarMBS pada jajaran Kemdikbud dan stakeholder, kejelasan karir dan kebijakan yang menjadi wewenang pusat, daerah dan sekolah. Perubahan pola hubungan sub-ordinasi, perubahan sikap dan perilaku baik pimpinan jajaran birokrasi maupun masyarakat, deregulasi aturan, dan transparansi serta akuntabilitas
  • b. Tahap Implementasi Tahap implementasi dapat dilakukan dengan berbagai syarat, di antaranya. i. Pihak sekolah dapat menerima informasi tentang MBS secara lengkap dan dapat diterima (akseptabel) maknanya secara filosofis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan; ii. Melakukan benchmarking ke sekolah yang telah menerapkanMBS terlebih dahulu, dan mengidentifikasi semua persoalan yang dihadapi; iii. Menyusun tahapan implementasi dalam ruang lingkup yang termudah terlebih dahulu. iv. Memulai inplementasi sesuai dengan kontekslokal; 
  • c. Tahap Penguatan Penguatan implementasi MBS dilakukan secara simultan dari waktu ke waktu dengan melakukan evaluasi dan penguatan berkala, sehingga diperoleh model implementasi yang benar-benar sesuai.
 2. Indikator keberhasilanMBS  
Keberhasilan MBS dicirikan dengan sejumlah indikator, antara lain: 
  1. 1. Menguatnya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional; 
  2. 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah; 
  3. 3. Munculnya team work yang tinggi di dalam manajemen sekolah; 
  4. 4. Meningkatnya kemandirian sekolah dalam menghadapi berbagai tantangan dalam dunia pendidikan


No comments:

Post a Comment