“Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sesungguhnya diterimanya amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang
niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya (akan diterima) sebagai hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dan
barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari dan wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapati apa yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menilik
satu hadits tentang niat ini menjadikan bekal luar biasa bagi makhluk
yang bernama aktivis dakwah. Karena apa? Ya, karena tanggung jawabnya
bakal lebih berat dibandingkan dengan muslim mukmin lainnya. Apapun yang
menjadi sarana mereka untuk menjadikan Islam rahmatan lil ‘alamin, jika
niatannya bukan karena Allah dan Rasul-Nya, maka yang akan mereka
dapatkan hanya sebatas apa yang menjadi kehendaknya. Pujian orang lain?
Oh, kecil! Jabatan? Apalagi… Atau, ini nih yang lagi banyak dicari
aktivis dakwah muda. Ekhemmm… pasangan hidup yang sempurna. Insya Allah
dikasih juga ko. Tapi, ya… sebatas kebaikan dan kesempurnaan dunia saja.
Wallahu a’lam untuk akhiratnya.
Ya! Pobhia nikah muda menjadi bincangan hangat di kampus yang menjadi awal perkenalan saya dengan dunia tarbiyah.
Banyak faktor yang mungkin menjadi latar belakang. Harapan saya, semoga
faktor-faktor syar’i-lah yang menjadi alasan. Tapi tak bisa dipungkiri,
mungkin karena saking pengennya, segala hal menjadi sebuah hal yang
pantas untuk menjadi permakluman. Model nikah aktivis dakwah kampus saat
ini terbilang nyeleneh. Apalagi dengan model
‘memilih’nya para ikhwan dengan siapa dia hendak menikah. Atau model
lain seperti janjian antar akhwat ikhwan yang saling lobi dulu tanpa nuwun sewu dengan sang murabbi.
Wah…jangan-jangan saya malah yang kuno ya? Jangan-jangan model seperti ini sudah tidak lagi nyeleneh. Hmm… Whatever lah. Saya hanya mengamati saja. Ternyata model nikah yang menurut saya nyeleneh
itu dengan model nikah yang menurut saya masih dalam garis syar’i dan
manhaji murni; beda banget lho. Mereka yang beranggapan bahwa ‘Di Jalan
Dakwah Aku Menikah ‘ini terlihat begitu damai gambaran rumah tangganya.
Mereka dikaruniai anak-anak yang mudah diatasi, keuangan yang selalu
cukup, atau kemudahan-kemudahan lain setelah menikah. Namun lain
ternyata jalan hidup bagi mereka yang beranggapan bahwa ‘Aku Menikah di
Jalan Dakwah’. Baru saja menikah, sudah banyak ujian yang datang
menghampiri rumah tangga mereka. Sampai-sampai imbasnya konsentrasi
dakwah mereka menjadi menurun.
Jadi ingat pesan Pak Cah, pakar
kerumahtanggaan islami ini. Beliau mengingatkan untuk meletakkan prosesi
pernikahan dan kekeluargaan dalam kerangka dakwah, karena Islam telah
memberi amanat kepada kita untuk menunaikan pekerjaan kenabian yang satu
ini, dakwah ilallah.
Ya, semoga dengan renungan hadits pertama tentang niat ini menjadikan
aktivis muda yang sudah ingin menggenapkan separuh diinnya, tidaklah
menjadikan ketidaksabaran sebagai alasan untuk berhak memilih pasangan
hidup kita. Jadikan pilihan hidup kita tetap karena Allah dan Rasul-Nya
dengan siapa dan kapan pun kita dipertemukan dengan jodoh kita.Jangan sampai setelah menikah, menjadikan diri dan keluarganya tidak dapat berkontribusi lebih untuk dakwah ini. Hanya karena jawaban Allah atas ketidaksabaran kita.
Kembali menjadi renungan dalam-dalam. Apakah kita-para aktivis dakwah muda-hanya menjadikan dakwah sebagai sarana kita untuk menghendaki pasangan yang menurut kita sempurna, atau memang menjadikan dakwah sebagai sarana hijrah kita karena Allah dan Rasul-Nya? Maka jawab dengan jujur kata hati kita ini…
Salah seorang ummahat berkata kepada saya, “Berkonsentrasilah kepada perintah. Maka segala apa yang menjadi keputusanmu tidak keluar dari perintah itu sendiri. Sadar atau tidak kau sadari.”
Wallahu a’lam bisshawab…
No comments:
Post a Comment