#CYBERUTOPIANIZM
2002, Korsel sedang mengalami gegap gempita pemilihan presiden. Saat media mainstream selalu berkutat dengan pencitraan dengan presiden pro Amerika, maka warga melakukan perlawanan online dengan OhMYNews.com.
Setiap warga di berikan kebebasan posting berita, komentar, atau apapun tentang pendapat mereka termasuk tentang presiden yang mereka dukung.
Hingga berkat peran besar OhMyNews.com ini, Roh Moo Hyun duduk di kursi kepresidenan.
2004, Ukraina. Tudingan intimidasi pada pemberi suara hingga manipulasi hasil pencoblosan pemilihan presiden memantik Revolusi Oranye. Seluruh sumber daya online dikerahkan.
Meski belum ada twitter dan facebook kala itu tapi cahtting, milis, blog, rupanya mampu mengerahkan ratusan ribu rakyat turun ke jalan menuntut pemilu ulang hingga terjadi bentrokan yang menelan korban jiwa.
Setelah digelar ulang, akhirnya presiden yang dituding melakukan intimidasi dan manipulasi terkalahkan oleh presiden yang didukung rakyat.
2007, Iran. Blog jadi media penting viralnya konten konten yang ditimpali komen-komen diskusi di masing2 artikel. Hingga kemudian pecah serupa bisul menjadi protes berdarah di dunia offline terkait pemilu 2007.
Hingga kejadian ini menjadi viral dan rezim Iran saat itu akhirnya melakukan pemblokiran terhadap jejaring sosial ini. Meski akhirnya revolusi menjadi hambar karena rakyat masih mencintai Ahmadinejad.
2011, Tunisia. Presiden Ben Ali ngibrit ke Arab Saudi. Aksi bakar diri tukang sayur miskin yang barang dagangannya disita oleh aparat setempat memicu protes masyarakat.
Melihat gelagat perlawanan meluas, Ben Ali melakukan pengawasan ketat terhadap semua media konvensional. termasuk intimidasi pada wartwan.
Facebook luput dari pengawasan dan blokir, lalu melalui socmed inilah penggalangan massa dilakukan secara massif hingga dukungan dari luar negeri mengalir deras.
Hingga revolusi menelan korban jiwa dan tumbanglah Ben Ali. Dalam skala besar, revolusi Tunisia ini di anggap sebagai pemantik "Arab Spring".
2015, Turki. Saat kritis usaha penggulingan kekuasaan Erdogan yang dilakukan oleh militer sedang berjalan, erdogan memposting sebuah video melalui aplikasi facetime di iphone nya. Pesan ini kemudian menjalar ke seantero Turki melalui pesan digital di semua jejaring hingga menggugah warga untuk keluar dari rumah dan turun ke jalan menyuarakan dukungan merka ke Erdogan.
Indonesia? Meski dominasi segelintir orang yang menguasai media konvensional kita, tapi ruang informasi dan komunikasi publik sangat leluasa terjadi di social media.
Galang dukungan dan manipulasi persepsi menjadi begitu massif saat pilpres 2004 lalu. Social media menciptakan kultur baru dalam suasana demokrasi kita.
132 juta rakyat indonesia yang terkoneksi dengan internet dengan 129 juta diantaranya aktif di jejaring social (Data APJII Okt 2016), membuat penyebaran informasi dan penggalangan massa jadi semudah menjetikkan jari jempol.
Maka lihatlah hasilnya, jutaan massa terkumpul di lapangan monas hingga menjalar memenuhi ruas2 jalan akses ke monas. Hingga aksi ini dianggap aksi massa terbesar yang pernah terjadi di negeri ini.
Belajar dari banyak kejadian di atas, benang merah antara pergerakan sosial dan era digital adalah kultur baru yang memberi kekuatan baru di era demokrasi modern.
Pergerakan di dunia maya nyata-nyata mampu di konversi jadi gerakan di dunia nyata yang tak kalah massif. Perkembangan dunia cyber yang sedemikian cepat membuat apa yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya jadi hal nyata yang mewujud di depan kita, tak peduli kita siap menerima nya atau tidak.
Hingga negara sebesar Amerika pun kebakaran jenggot dengan aksi cyber saat pilpres lalu. Sebuah artikel pendek di republika beberapa hari lalu menuliskan bahwa FBI, NSA, hingga CIA menemukan indikasi kuat turut campurnya pasukan cyber Putin mempengaruhi opini massa terhadap capres Trump. Termasuk dengan cara melakukan downgrade terhadap hillary.
Maka tepatlah jika rezim sekarang yang duduk di tampuk kuasa negeri ini semakin hari semakin paranoid dengan social media dan media komunikasi digital lainnya.
Meski jadi anomali yang menggelikan, dia yang dibesarkan oleh media sosial, kini mencoba membungkam media sosial.
No comments:
Post a Comment